Menjadi Dewasa
Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.
Dewasa, menurut makna di KBBI adalah ketika seseorang telah akil balig (bukan kanak-kanak atau remaja lagi). Menurut hukum di Indonesia, dewasa adalah ketika seseorang menginjak usia 17 tahun dan terdaftar di KTP sebagai warga negara yang sah. Dalam konteks yang lebih menyeluruh, dewasa adalah ketika seseorang menginjak usia tertentu kemudian bisa memilah mana yang baik dan buruk mengenai sesuatu secara benar, dibarengi dengan kesiapan menghadapi tanggung jawab yang bertambah dan sikap yang tidak lagi kanak-kanak.
Salah satu parameter kedewasaan secara menyeluruh adalah kematangan nalar dan emosional, yang dapat diuji dan terlihat lewat respon seseorang ketika tidak mendapat hal yang diinginkan, dihadapkan pada kondisi sulit yang menuntut pengorbanan, dituntut bertanggung jawab terhadap hal yang telah dilakukan, diberi waktu untuk mengatur kebebasan, sampai diberi situasi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan.
Persepsi bahwa usia yang dewasa melahirkan sikap yang dewasa pula, atau persepsi bahwa tumbuh dan berkembangnya kedewasaan seiring dengan bertambahnya nilai seseorang, bagi saya adalah kekeliruan. Tidak ada jaminan bahwa pola pikir paruh baya lebih bijak dari anak SMA, pun sebaliknya. Bagi saya, kedewasaan pada hakikatnya adalah sebuah proses. Kedewasaan layaknya asimtot tegak dan manusia layaknya kurva, hubungan antara keduanya tidak pernah menyinggung maupun saling memotong, hanya semakin mendekat satu sama lain.
Seseorang hanya dapat mendekat dan semakin dekat dengan pendewasaan diri, namun tidak pernah ada yang menggapai sepenuhnya. Karena pendewasaan diri, pada hakikatnya adalah proses pembelajaran tanpa akhir.
Berbicara perbedaan, saya ingin bercerita sedikit. Sebagai mahasiswa di universitas islam, saya menemukan banyak hal mengenai perbedaan yang mungkin sedikit berbeda dengan rekan-rekan saya di universitas lain, karena ruang lingkupnya lebih spesifik mengenai Islam.
Disini, saya memeroleh fakta bahwa pengidentifikasian ‘arah’ keislaman seseorang jelas tidak bisa ditentukan lewat dikotomi apakah ia NU atau Muhammadiyah, seperti yang terkadang ditemukan di masyarakat (Jelas salah satu common sense di masyarakat yang harus diluruskan, bagi saya). Namun lebih jauh dari itu, disini saya menemukan dan menyadari dengan benar keberagaman ‘warna’ ber-islam. Dari kerangka berpikir islam yang progresif, modern, konservatif, moderat, dan sebagainya. Dari madzhab yang berbeda-beda, harokah yang beragam, perbedaan fikih maupun pemikiran yang terbentang panjang, bahkan kecendrungan politik dan afiliasinya, semua saya temukan disini.
Lantas, apa karena demikian kita harus dengan keras menyeragamkan pemahaman agar semua ber-islam dengan pemahaman yang sama dan menutup ruang perbedaan? Tentu tidak, apalagi jika ternyata hal-hal yang berbeda tersebut sama-sama berdasar dan dibolehkan syariat. Diversitas perbedaan seperti yang ditemukan di kampus, justru menjadi tempat terbaik bagi kita untuk mempraktekan apa yang disebut toleransi.
Suatu hal yang sering digembar-gemborkan, namun terkadang minim ketika dituntut pelaksanaan. Suatu hal yang terkadang malah lebih halus dan lebih mudah dilakukan ke non muslim dibanding ke saudara muslimnya sendiri.
Keributan tentang qunut atau tidak, telunjuk yang bergerak atau diam ketika tahiyat, celana yang cingkrang atau tidak, and so on yang tidak habis-habis. Bagi saya hanya jadi sebuah kegiatan kontraproduktif dan tidak membawa kemaslahatan apapun, ketika pihak yang argumennya bersebrangan sejak awal hanya saling berniat untuk ‘baku hantam’ dan menghancurkan.
Bagaimana jika tujuannya memang untuk meluruskan, membantah, atau mengkritisi hal yang salah?
Maksud saya, ditengah terbukanya ruang untuk berdialog dengan santun dan penuh adab, berdiskusi, dan beradu argumen secara ilmiah dan sehat di zaman seperti saat ini, mengapa seringkali malah lebih membudaya sikap represif, debat kusir, & adu makian lewat akun-akun dengan identitas yang dipalsukan yang justru dikedepankan?
Ditengah tantangan zaman yang kian berat dan memberatkan seluruh muslim di seantero dunia, apakah perlu terus menerus mempermasalahkan masalah furu’ (cabang) yang berakhir pecah belah ketika urgensi nyata umat islam saat ini dan hari nanti adalah kuatnya ukhuwah? Sebuah pertanyaan yang layak direnungkan dalam-dalam oleh setiap muslim. Sebuah pertanyaan yang menguji taraf kedewasaan setiap muslim.
Kembali ke pendewasaan diri.
Barangkali, indikator kedewasaan termasuk juga sesederhana usaha untuk mampu mengikhlaskan yang telah usai dengan lapang. Sesederhana upaya mengenyahkan apapun tentang keangkuhan dan ke-akuan seseorang. Sesederhana terbiasa mendaku salah dan mengakui kesalahan ke diri sendiri. Sesederhana membiasakan diri mengucap “maaf”,”tolong”, dan “terima kasih” untuk setiap hal apapun, kepada siapapun. Bahkan untuk hal-hal kecil.
Bagi saya, menjadi dewasa juga juga adalah tentang keikhlasan menerima diri sendiri dengan seluruh kekurangan, termasuk menerima kenyataan bahwa mungkin kita tidak menjadi apa-apa di masa depan.
Belajar menerima bahwa di hari-hari nanti, kita mungkin tidak pernah menjadi ceo perusahaan multinasional dan hanya menjadi pegawai rendahan, kita mungkin tidak memiliki followers sebanyak selebgram yang mencapai ribuan bahkan jutaan, kita mungkin tidak pernah memenuhi parameter keelokan yang dibentuk iklan-iklan kosmetika dan kecantikan, sampai menerima kenyataan bahwa kita mungkin hanya hitungan jari memiliki orang yang benar-benar peduli, ketika orang lain tidak terhitung jumlah yang membersamai.
Di kehidupan yang alur cerita dan plotnya tak bisa dikendalikan, bersiap terhadap segala kemungkinan terburuk yang diberikan hidup menjadi kunci menjalani hidup dengan tenang, sekaligus menjadi manifestasi kedewasaan seseorang.
Akhir kata, menjadi dewasa adalah sebuah hal yang sukar, pastinya. Meninggalkan kenyamanan kanak-kanak dan remaja bukan hal yang mudah. Namun jika kita meyakini hidup adalah perubahan, dan perubahan adalah ciri kehidupan, maka miliki dan pegang teguhlah komitmen untuk menjemput pendewasaan diri. [1]
Selamat berjuang menjadi dewasa, untuk kehidupan yang lebih baik di esok masa.
Bandung, 060120